Cara Menegaskan Perasaan Menuju Kejelasan dalam Hubungan
Ini mungkin menjadi keberanian pertama yang aku miliki untuk melepaskan seseorang yang tidak mengusahakan kita. Walaupun terkesan egois, tapi bertahan di hubungan yang abu-abu itu terus menggerogoti diriku sendiri.
Semalam (1/9/2025), aku memberanikan diri untuk mengirim sebuah pesan yang cukup berat ke seseorang. Aku menanyakan langsung padanya: apakah aku pernah menjadi tujuanmu?
Selama ini, aku hidup dalam zona abu-abu: antara rasa suka, harapan, dan kebingungan akan sikapnya. Ada momen di mana kedekatannya membuatku merasa istimewa, tapi di sisi lain aku tidak pernah benar-benar yakin apakah aku memang ada di dalam rencananya.
Pesan itu akhirnya dijawab. Jawabannya sederhana, tapi cukup untuk mengguncang hatiku: aku tidak pernah menjadi tujuannya.
Aku tidak bisa memungkiri, rasanya sakit. Namun, di balik sakit itu, ada rasa lega, setidaknya aku tidak lagi berjalan dalam kabut.
Rasa Sakit yang Wajar
Ketika menyukai seseorang, kita tidak hanya melekat pada sosoknya, tetapi juga pada narasi yang kita bangun di kepala: kemungkinan-kemungkinan, masa depan bersama, atau sekadar momen kecil yang kita harap bisa berlanjut.
Maka, ketika harapan itu runtuh, yang hancur bukan hanya “hubungan,” tetapi juga cerita yang sempat kita bayangkan. Itulah mengapa rasa sakitnya terasa dalam.
Self-Defense Mechanism: Melindungi Diri dari Luka yang Berulang
Setelah menerima jawaban itu, aku memilih memblokir kontak WhatsApp-nya. Dari luar mungkin terlihat dramatis, tetapi bagiku ini adalah bentuk perlindungan diri.
Dalam psikologi, ini disebut self-defense mechanism, yakni cara otomatis kita untuk menjaga diri dari ancaman emosional yang bisa melukai lebih jauh. Dengan memutus akses komunikasi, aku menciptakan jarak yang membuatku bisa bernapas tanpa terus-menerus terpicu oleh kehadirannya.
Ini bukan bentuk kebencian, melainkan batas sehat: aku tidak bisa sembuh jika setiap hari dipaksa melihat wajah luka itu.
Coping Mechanism: Cara Bertahan di Tengah Rasa Perih
Selain self-defense, ada juga yang disebut coping mechanism—strategi sadar untuk mengelola stres dan emosi yang sulit. Setiap orang punya caranya masing-masing:
- Menghindar sementara: menjaga jarak, mengurangi interaksi, atau bahkan “menghilang” untuk fokus memulihkan diri.
- Menyalurkan emosi lewat tulisan: seperti yang kulakukan sekarang, menjadikan rasa sakit sebagai narasi yang lebih bermakna.
- Mencari dukungan: bercerita pada teman, keluarga, atau terapis agar tidak merasa sendirian.
- Mengalihkan energi: fokus ke pekerjaan, hobi, atau aktivitas yang membangun rasa diri di luar hubungan dengan orang itu.
Coping tidak selalu instan membuat sembuh. Tapi ia ibarat dayung yang membantuku tetap mengapung di lautan emosi yang dalam.
Diskusi
Memutus kontak dengan seseorang sering dianggap dramatis atau kekanak-kanakan. Padahal, dalam banyak kasus, itu justru bentuk perlindungan diri yang sehat.
Tindakan sederhana seperti memblokir WhatsApp, berhenti mengikuti akun media sosial, atau menghapus foto, sebenarnya adalah cara kita menciptakan jarak agar hati bisa bernapas kembali.
Dalam psikologi, hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri yang sadar: bukan sekadar pelarian, melainkan strategi untuk menjaga batas emosional.
Saat seseorang membuat kita terjebak dalam zona abu-abu—kadang memberi harapan, kadang menjauh—otak kita sebenarnya sedang menerima sinyal yang tidak konsisten. Pola ini, dalam psikologi perilaku, disebut sebagai intermittent reinforcement.
Justru pola tidak menentu tersebutlah yang sering memperkuat keterikatan, membuat kita sulit melepaskan. Dengan memutus kontak, kita menghentikan siklus penguatan itu. Kita menutup pintu agar tidak terus-menerus terpicu oleh notifikasi, unggahan, atau pesan yang bisa membangkitkan kembali luka.
Dari sisi regulasi emosi, tindakan ini termasuk situation selection—kita memilih keluar dari situasi yang berpotensi menyakiti. Ada manfaat langsung yang terasa: emosi lebih stabil, ruang batin lebih tenang, dan rasa kendali kembali pada diri sendiri.
Bagi sebagian orang, langkah ini juga menjadi simbol bahwa dirinya layak untuk dilindungi, bahkan dari orang yang disayangi sekalipun.
Namun, penting untuk disadari bahwa memblokir hanyalah satu sisi dari proses penyembuhan. Jika dijadikan pelarian permanen tanpa upaya memproses emosi, luka itu bisa tetap membekas di bawah permukaan. Ada risiko perasaan “unfinished business” yang muncul di kemudian hari, atau bahkan kebiasaan menghindar setiap kali berhadapan dengan konflik emosional.
Karena itu, pemblokiran perlu dilengkapi dengan mekanisme coping yang sehat: menulis jurnal, berbicara dengan teman dekat atau terapis, menyalurkan energi ke aktivitas bermakna, dan melatih self-compassion.
Pada akhirnya, memblokir bukanlah tindakan kebencian, melainkan pernyataan: “Aku memilih untuk menjaga diriku sendiri.” Dengan batasan ini, kita memberi kesempatan bagi diri untuk memproses kehilangan, membangun ulang narasi hidup, dan kembali fokus pada hal-hal yang menumbuhkan.
Itu mungkin bukan langkah mudah, tetapi sering kali merupakan langkah yang paling penuh kasih sayang yang bisa kita berikan pada diri sendiri.
Pengantar — mengapa kita butuh bedakan coping dan “self-defense”
Ketika kita mengambil tindakan seperti memblokir kontak, itu sering dianggap reaktif atau berlebihan oleh orang lain.
Padahal secara psikologis tindakan itu punya fungsi yang jelas: ia bisa menjadi strategi proteksi sadar (boundary) agar pikiran dan tubuh tidak terus-menerus terpapar stimulus yang memperpanjang rasa sakit.
Di level lain ada pula mekanisme pertahanan tak sadar, pola psikologis yang muncul otomatis (mis. represi, denial), yang berbeda secara fungsional dari pilihan sadar seperti “tidak berkomunikasi sama sekali”.
Memahami perbedaan ini membantu kita melihat keputusan memutus kontak bukan semata-mata tindakan impulsif, melainkan langkah pemulihan yang bisa direncanakan dan dipadukan dengan strategi coping lain.
Coping menurut model transaksional: appraisal dan strategi
Dalam model transaksional Lazarus & Folkman, stres tidak hanya berasal dari peristiwa itu sendiri, tapi dari cara kita menilai (appraisal) peristiwa tersebut dan sumber daya yang kita rasakan tersedia untuk menghadapinya.
Pertama ada primary appraisal, yakni menilai apakah situasi mengancam atau menantang, lalu secondary appraisal, yakni menilai kemampuan kita mengatasi situasi. Dari situ muncul dua jenis coping utama: coping yang berfokus pada masalah (problem-focused) dan coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused).
Dalam konteks penolakan atau ambiguitas hubungan, memutus kontak bisa dipahami sebagai strategi situational selection yang mengurangi paparan terhadap pemicu emosi sehingga membuka ruang untuk pemrosesan lebih adaptif. Google Books
Proses regulasi emosi: memilih kapan bertindak, bagaimana menata perhatian, dan bagaimana menilai ulang
Model proses regulasi emosi oleh James Gross membagi strategi menjadi rangkaian yang terjadi sebelum atau setelah emosi benar-benar dipicu: memilih situasi (situation selection), mengubah situasi (situation modification), mengalihkan perhatian (attention deployment), menilai ulang kognitif (cognitive reappraisal), hingga mengatur respons (response modulation).
Memblokir kontak adalah contoh situation selection; menghapus foto atau mute akun adalah situation modification; menulis jurnal dan menantang pikiran negatif masuk ke ranah cognitive reappraisal; latihan napas dan grounding masuk ke response modulation.
Strategi yang bertindak lebih awal pada proses emosi cenderung punya konsekuensi jangka panjang yang lebih adaptif (mis. mencegah over-rumination). SAGE Journals
Mengapa penolakan terasa “nyeri” secara biologis, dan peran rumination
Penolakan sosial atau pengucilan bukan cuma terasa sedih secara metafora karena neurosains menunjukkan ada overlap antara area otak yang aktif saat nyeri fisik dan saat penolakan sosial.
Studi fMRI menemukan aktivitas pada wilayah yang terkait “social pain” ketika peserta mengalami pengucilan, yang menjelaskan kenapa ditolak bisa terasa begitu menyakitkan dan memicu reaksi fisiologis/stres.
Ketika kita terus-menerus memikirkan ulang (rumination), proses pemulihan terhambat: bukti psikologis menunjukkan rumination berkaitan dengan durasi dan intensitas episode depresi karena memperkuat skema negatif dan menghambat tindakan adaptif.
Oleh karena itu, memutus paparan (no contact) sekaligus bekerja pada pengurangan rumination merupakan langkah beralasan secara ilmiah. SciencePubMed
Intermittent reinforcement: mengapa sinyal “kadang perhatian, kadang menjauh” bikin kita susah lepas
Dalam konteks hubungan, pola perhatian yang tidak konsisten (kadang hangat, kadang acuh) bekerja seperti skedul penguatan parsial pada perilaku. Ia menciptakan motivasi yang kuat dan tahan terhadap “penghentian” karena harapan akan munculnya penguatan berikutnya.
Ini menjelaskan kenapa kita bisa terjebak berharap tiap kali ada sinyal kecil; memutus siklus ini adalah langkah behavioral yang efektif untuk mengurangi obsesi yang diperkuat oleh “sedikit” respons. (Konsep partial/ intermittent reinforcement berasal dari kajian perilaku dan efeknya dalam mempertahankan respon telah banyak diteliti). SpringerLinkPMC
Self-compassion sebagai landasan pemulihan — bukan sekadar “positif thinking”
Ketika perasaan terluka, respons paling adaptif bukan memaksa diri cepat “move on” dengan menekan emosi, melainkan membangun sikap self-compassion: bersikap ramah pada diri sendiri waktu suffering, mengakui bahwa manusia lain juga mengalami hal serupa (common humanity), dan memberi ruang penuh untuk emosi tanpa over-mengidentifikasi.
Penelitian kajian self-compassion menunjukkan korelasi dengan ketahanan emosional, pengurangan self-criticism, dan peningkatan kemampuan pulih dari kekecewaan.
Menggabungkan self-compassion dengan strategi praktis (mis. aturan jarak sementara, journaling, dukungan sosial) membuat proses healing menjadi lebih lembut dan efektif. Self-CompassionAnnual Reviews
Praktik konkret—langkah harian dan mingguan yang bisa dicoba sekarang juga
Mulai dengan menentukan niat: apakah no-contact bersifat sementara (mis. 30/60/90 hari) atau permanen untuk kesehatan emosionalmu. Tetapkan juga aturan soal konteks profesional (mis. hanya komunikasi lewat email kerja atau platform tim), agar tanggung jawab tidak berlubang.
Di level harian, lakukan tiga praktik kecil:
1) Journaling 10 menit (tulis satu trigger, emosi yang muncul, respons pilihanmu hari itu); 2) Cognitive reappraisal exercise (tuliskan satu asumsi negatif—mis. “aku tidak cukup”—lalu tuliskan tiga bukti yang menentangnya); 3) Behavioral activation (lakukan satu kegiatan yang memberi rasa kompeten atau kegembiraan, mis. olahraga singkat, memasak, atau bekerja pada satu mikro-tugas startup).
Untuk mengurangi rumination, pakai teknik “urge surfing”: ketika dorongan muncul, amati sensasi fisiknya tanpa bertindak, rasakan naik-turunnya selama 5–10 menit sampai intensitas menurun.
Di level mingguan, lakukan refleksi terstruktur: hari ke-7, evaluasi mood dan frekuensi pikiran tentang dia; hari ke-14, jadwalkan aktivitas sosial yang mendukung; pada minggu ke-4, lakukan “security check”: apakah no-contact masih membantu atau perlu adaptasi.
Seluruh proses ini dipadukan dengan latihan self-compassion (latihan kalimat menenangkan pada diri sendiri, mis. “ini sulit sekarang, dan itu oke, aku tidak sendirian”) dan mindfulness pendek (5–10 menit napas perut) untuk menurunkan kecemasan fisiologis.
Contoh journaling prompts yang membumi
Tulis: “Apa yang kurasakan sekarang? Di mana di tubuh ini terasa? Apa satu bukti yang menguatkan dan satu bukti yang melemahkan asumsi terburukku? Apa tindakan kecil yang bisa kubuat hari ini untuk merawat diriku?” Soal-soal sederhana semacam ini melatih pemikiran berbasis bukti (reducing catastrophizing) dan mempercepat reappraisal.
Kapan ini jadi sinyal untuk minta bantuan profesional
Jika setelah beberapa minggu (atau beberapa bulan) gejala terus mengganggu fungsi: tidur kacau berat, nafsu makan berubah drastis, sulit bekerja atau menjaga kebersihan diri, atau muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri, itu tanda penting untuk segera mencari bantuan profesional (psikolog/psikiater).
Terapi berbasis bukti seperti CBT (cognitive behavioral therapy) dan ACT (acceptance and commitment therapy) banyak membantu pasien yang mengalami rumination kronis, attachment distress, dan kesulitan regulasi emosi.
Belajar dari Kejelasan
Kini aku tahu satu hal: kejelasan, meskipun menyakitkan, lebih sehat daripada terus hidup dalam ketidakpastian. Aku tidak bisa memaksa seseorang menjadikanku tujuan. Namun, aku bisa memilih untuk menjadikan diriku sendiri sebagai tujuan, membangun diri, utuh secara pribadi, dan kelak, bertemu seseorang yang juga siap berjalan bersama.
Menghilang dari dia mungkin terasa ekstrem, tapi justru itulah caraku untuk kembali menemukan diriku.
Karena pada akhirnya, mencintai orang lain memang indah. Tapi mencintai diri sendiri, itulah pondasi yang membuat kita tetap berdiri, bahkan ketika cinta tidak berbalas.
Apakah kamu ingin curhat online gratis via WhatsApp? Yuk, sampaikan cerita yang tidak bisa lagi kamu pendam! Kami menyediakan ruang #curhatonlinegratis untuk setiap masalah yang kamu alami. Yuk, kunjungi ruang curhat online.