-->

Post-Traumatic Growth: Ribuan Refleksi, Berkali-Kali Memaafkan Diri Sendiri

resilience (daya lenting)

Kita sering berpikir bahwa penyembuhan dari luka masa lalu adalah perjalanan lurus: sakit → sembuh → bahagia

Kenyataannya, hidup jauh lebih berliku dari itu. Ada kalanya kita merasa sudah pulih, lalu tiba-tiba tersandung lagi oleh kenangan lama. Ada hari di mana refleksi terasa menenangkan, tetapi ada juga malam-malam ketika refleksi justru membuat hati perih.

Di titik itulah kalimat “ribuan refleksi, berkali-kali memaafkan diri sendiri” menemukan maknanya.

Refleksi yang Berulang

Trauma, apa pun bentuknya, sering memaksa kita melihat ulang banyak hal: diri sendiri, orang-orang di sekitar, bahkan cara kita memandang dunia. Refleksi tidak terjadi sekali lalu selesai. Justru, ia datang ribuan kali, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kecil:

  • Mengapa itu harus terjadi padaku?
  • Apakah aku masih orang yang sama setelah semua ini?
  • Apa yang bisa kupelajari dari sini?

Mungkin melelahkan, tapi justru dari keribuan refleksi itu, benih pertumbuhan bisa muncul.

Memaafkan Diri Sendiri

Sering kali bagian tersulit dari penyembuhan bukanlah memaafkan orang lain, melainkan memaafkan diri sendiri. Kita bisa merasa bersalah karena “tidak cukup kuat”, menyesali keputusan masa lalu, atau marah karena tidak mampu mencegah sesuatu.

Namun, post-traumatic growth mengajarkan bahwa memaafkan diri sendiri bukan tanda kelemahan, melainkan jalan menuju kebebasan. Dan itu bukan proses sekali jadi. Kita mungkin perlu melakukannya berkali-kali, hari ini, besok, dan mungkin tahun-tahun mendatang.

Apa Itu Post-Traumatic Growth?

post-traumatic growth

Secara psikologis, post-traumatic growth (PTG) adalah istilah yang menggambarkan perubahan positif yang bisa muncul setelah seseorang melewati peristiwa traumatis atau sangat sulit. 

Ini berbeda dengan resilience (daya lenting) yang lebih fokus pada kemampuan kembali ke keadaan semula. PTG justru mengarah pada pertumbuhan baru yang lahir dari luka.

PTG umumnya tampak di lima bidang:

  1. Apresiasi hidup (lebih peka pada hal kecil),
  2. Relasi yang lebih hangat,
  3. Rasa kuat secara pribadi,
  4. Perubahan spiritual/eksistensial, dan
  5. Munculnya kemungkinan baru dalam hidup.

Bagaimana PTG “Muncul” Secara Psikologis?

  • Guncangan skema: peristiwa sulit mengguncang “peta” kita tentang dunia (harusnya aman/ adil/ dapat diprediksi).
  • Dari ruminasi ke refleksi: awalnya pikiran berputar tanpa henti (ruminasi intrusif). Dengan waktu, dukungan, dan self-compassion, putaran itu pelan-pelan berubah menjadi refleksi yang disengaja, bertanya “apa maknanya bagiku?” alih-alih “kenapa aku?”
  • Membentuk narasi baru: kita mulai menyusun ulang cerita hidup: nilai apa yang penting, batasan apa yang perlu, bagaimana mau melangkah selanjutnya.
  • Relasi & keterbukaan: bercerita pada orang tepercaya (atau profesional) membantu otak memproses emosi, menenangkan sistem saraf, dan memperkuat rasa terhubung.
  • Memaafkan diri sendiri: ini bukan melupakan, melainkan melepaskan tuntutan tak adil pada diri (“seharusnya aku bisa…”) agar energi kembali tersedia untuk hidup.

“Ribuan refleksi, berkali-kali memaafkan diri sendiri”—di sinilah PTG sering bertunas.

Cerita Singkat: Laras dan Sungai yang Meluap

Suatu musim hujan, rumah Laras terendam banjir bandang. Minggu-minggu pertama diisi suara malam yang bising di kepalanya: “Kalau saja aku lebih cepat… kalau saja aku menabung lebih banyak…” Tidur gelisah, napas pendek, dan marah pada diri sendiri.

Atas saran sahabatnya, Laras mulai menulis 10 menit setiap pagi. Tulisan pertamanya penuh amarah. Minggu kedua, ia menambahkan satu pertanyaan, “Apa satu hal kecil yang masih bisa kulakukan hari ini?” Jawabannya remeh: menjemur buku yang selamat, menyapa tetangga, membuat daftar kebutuhan. Ia juga bergabung di posko warga; di sana ia bercerita dan mendengar cerita.

Bulan berjalan. Ruminasi kenapa aku? pelan-pelan bergeser menjadi refleksi apa yang kupelajari? nilai apa yang ingin kupegang? Di jurnalnya, Laras menulis, “Aku tidak gagal. Aku manusia yang tertimpa bencana. Hari ini aku memilih memaafkan diriku yang kemarin.” Ia ulangi kalimat itu berkali-kali.

Enam bulan kemudian, perubahan yang tidak ia duga mulai tampak.

  • Ia lebih menghargai pagi dan secangkir teh bersama ibunya (apresiasi hidup).
  • Hubungannya dengan tetangga makin hangat karena sering kerja bareng di komunitas (relasi).
  • Ia merasa lebih mampu menghadapi ketidakpastian, tak sekuat baja, tapi cukup untuk hari ini (kekuatan pribadi).
  • Ia merenungkan makna “rumah”: bukan hanya bangunan, tetapi orang-orang yang saling jaga (pergeseran eksistensial).
  • Dari pengalaman koordinasi posko, ia melihat peluang baru: membantu merancang pelatihan kesiapsiagaan banjir di RW-nya (kemungkinan baru).

Laras masih punya hari buruk, terpicu hujan deras, misalnya. Tapi kini ia punya narasi baru dan alat sederhana: menulis, napas, telepon sahabat, dan mantra lembut, “hari ini juga boleh pelan.” Luka belum hilang, tetapi hidupnya melebar.

“Berkali-kali Memaafkan Diri”: Apa yang Terjadi di Dalam Diri?

  • Self-compassion menurunkan kritik diri dan mengaktifkan sistem penenang; otak lebih mudah mengakses sudut pandang yang luas.
  • Rasa bersalah yang realistis diproses, rasa bersalah yang tidak adil dilepas. Ini membuka ruang untuk tanggung jawab yang sehat tanpa menghukum diri.
  • Identitas bergeser: dari “korban semata” menjadi “penyintas yang juga pembelajar”—bukan toxic positivity, tapi kartu nama batin yang lebih utuh.

Tanda-Tanda PTG yang Sehat (Bukan Sekadar “Positivity” Sesaat)

  • Pertumbuhan bisa hidup berdampingan dengan duka. Kamu masih bisa sedih dan sekaligus lebih bijak.
  • Ada perubahan perilaku/nilai yang konsisten, bukan hanya kata-kata.
  • Hubungan dengan orang lain membaik (lebih jujur soal kebutuhan & batasan).
  • Kehidupan harian terasa lebih bermakna, meskipun tidak selalu lebih “mudah”.

Praktik Kecil yang Membantu Proses (Versi Santai)

  • Jurnal 10 menit: tulis “yang kurasa”, lalu “pelajaran kecil hari ini”, tutup dengan satu kalimat maaf untuk diri.
  • Pertanyaan reflektif: Apa yang ada dalam kendaliku? Nilai apa yang ingin kubawa ke 24 jam ke depan?
  • Ritme tubuh: napas pelan 4-6-8, jalan kaki, tidur cukup—otak belajar aman lewat tubuh.
  • Dukungan sosial: satu orang yang benar-benar mendengar lebih berguna daripada seratus nasihat.
  • Bantuan profesional bila gejala (mimpi buruk, panik, menarik diri) mengganggu fungsi harian—ini bentuk keberanian, bukan kelemahan.

Dari sisi psikologis, proses ini tidak terjadi secara otomatis. Ia biasanya lahir dari refleksi mendalam dan penerimaan, dua hal yang tersirat dalam kalimat tadi: ribuan refleksi dan berkali-kali memaafkan diri sendiri.

Post-traumatic growth bukan berarti trauma itu baik atau diinginkan. Luka tetaplah luka. Tetapi dari luka itu, banyak orang menemukan perspektif baru yang mengubah cara mereka menjalani hidup.

Seperti pohon yang tumbuh dari retakan tanah, pertumbuhan setelah trauma lahir dari tempat yang tidak kita duga.

Menutup Perjalanan dengan Terbuka

Jadi, kalau hari ini kamu masih merasa lelah karena terus-menerus berputar dalam refleksi, atau merasa harus memaafkan diri lagi dan lagi, itu bukan tanda kegagalan. Itu justru tanda bahwa kamu sedang berjalan di jalur pertumbuhan.

Karena penyembuhan bukan garis lurus. Ia adalah tarian antara refleksi dan penerimaan, antara luka dan pertumbuhan. Dan di dalamnya, ada ruang bagi kita untuk berkata: aku mungkin hancur, tapi aku juga bisa tumbuh.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  1. To insert a code use <i rel="pre">code_here</i>
  2. To insert a quote use <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. To insert a picture use <i rel="image">url_image_here</i>