Ekspektasi yang Terbunuh
Sedikit cerita saat pulang dari Strategy Summit ESEAP di Filipina. Aku naik mobil GRAB menuju bandara Niloi Filipina, sebelum ke Jakarta bersama Mas Agus.
Di perjalanan, dia bercerita banyak hal. Seperti biasa, aku hanya suka mendengarkan karena tidak ada hal yang bisa kuceritakan.
Selama Summit, aku cukup kagum dengan beberapa orang dari Indonesia yang memiliki cara ngomong bahasa inggris sangat baik, bahkan fluent.
Namun, ekspektasiku lebur saat aku mendengar beberapa kenyataan dari cerita Mas Agus.
"Mereka bisa mudah masuk WMF karena memang kuliahnya di LN."
"Oh, dia kuliah di Amerika."
"Dia kuliah di New Zealand."
Disambung dengan..
"Keluarganya berada."
"Dia punya orang tua dosen."
dsb..
Seketika aku terdiam. Dalam hatiku, "Oh, ternyata aku lebih hebat dari mereka. Aku memulai semuanya sendirian. Ngurus visa sendiri, ngurus imigrasi sendiri, bahasa inggris belajar sendiri, kuliah biaya sendiri, walaupun ngga di LN. Aku membuat sendiri peta hidup tanpa bantuan siapapun selain Tuhan, bahkan termasuk orang tuaku yang bahkan keluar Jatim saja tidak pernah."
Kenyataan getir yang membuatku merasa ingin menangis karena entah kenapa terasa menyesakkan. F*ck.
Di bandara pun, aku mendengar beberapa cerita yang membuatku berpikir ulang. Jadi, selama ini aku sendiri yang terlalu berpikir positif tentang mereka, sementara mereka tidak begitu.
Selama di pesawat, aku hanya merenung. Ini mungkin pertama kalinya dalam hidup aku mengumpat. Aku sungguh memahami, ini bukan lembaganya yang jelek, tetapi oknumnya. Mengingat posisi yang kumiliki saat ini, di usia yang semuda ini, apakah semua akan menyukainya?
Namun, dari pengalaman ini aku jadi belajar banyak hal, bahwa tidak semua manusia baik. Beberapa dari mereka hanya memikirkan tentang dirinya sendiri. Beberapa dari mereka tidak menyukai beberapa pencapaian kita, ditambah jika kita berasal dari "bukan apa-apa".
Hanya saja, aku tidak ingin hal ini mengotori hatiku. Di antara sekian banyak kemungkinan dan kebetulan, aku hanya berharap di antara orang-orang yang aku jumpai ini, di masa depan bisa menjadi tempat berlabuh yang aman dan tenang, dengannya aku tidak perlu berada di "survival mode".
Seseorang yang tahu seberapa dalam kita terjatuh, seberapa dalam kita mencoba mengobati hati kita, dan dia melihat itu sebagai anugerah. Semoga kita bisa menikah di usiaku yang ke-25 ini, ya.
Di antara mereka pun, ada beberapa orang yang benar-benar membuatku kagum dan berharap bahwa jodohku akan sepertinya. Meskipun hatiku tidak benar-benar yakin. Namun, jika orang itu benar-benar hadir, dan aku bisa berada di level yang sama dengannya, bayangkan bagaimana rasa syukurku saat itu karena sudah bertahan?
Semoga kita bisa saling bertemu dan bersama, bertahan di setiap keadaan, sehingga aku tidak perlu berjalan sendirian lagi. Hatiku bisa lebih lembut, dan aku bisa bersandar.
Aku juga menyadari, oknum-oknum ini hanya berasal dari Indonesia. Sementara itu, aku justru begitu dihargai dari staf yang berasal dari luar negeri, terutama dari Australia yang aku jumpai saat acara. Bahkan, mereka membelikanku es cream khas Filipina, menunjukkan foto anaknya yang ternyata seusia denganku dan mengatakan, "Kamu masih muda tapi bisa di sini itu luar biasa."
Semoga di masa depan nanti, jodoh yang kuharapkan ini juga memiliki hati yang murni. Mungkin, ini cara Tuhan menjagaku.