-->

Dilema dan Tantangan Membangun Startup

kisah di balik angphot

Per 3 Mei 2025, sekarang tinggal kami bertiga yang masih bertahan di ANGPHOT: saya sendiri, Ariq, dan Rio. Padahal sebelumnya sempat ada tujuh orang. Mungkin tulisan ini jadi ruang kecil bagiku untuk bercerita, tentang perjalanan membangun startup dari nol, benar-benar dari nol, tanpa sokongan siapa-siapa selain Tuhan.

Sisa tiga orang ini bukan angka yang membuat kecil hati, justru jadi cermin perjalanan panjang. Saya diam-diam menahan lelah yang nggak sedikit, karena mencoba sabar, memahami pembagian kerja yang timpang, hingga mengerjakan tugas yang seharusnya bukan bagianku, demi proyek bisa jalan.

Sebagai pemimpin, menahan sabar itu nggak gampang. Kadang ingin rasanya tegas, tapi di saat yang sama saya sadar, ini masih tahap awal, saya belum bisa memberi apresiasi dalam bentuk gaji yang layak. Padahal seharusnya, itu hak semua orang yang terlibat.

Dari sini saya belajar: membangun startup harus bareng orang-orang yang benar-benar mau berkorban, sabarnya luas, dan bisa memahami job desk masing-masing dengan adil.

Kalau mau jujur, saya nggak akan benar-benar marah pada anggota yang memutuskan keluar, asal mereka pernah memberikan kontribusi yang sepadan. Tapi saya juga sadar, saya pun belum sempurna sebagai pemimpin. Kadang lelah membuatku emosional. Dan yang paling berat adalah, jarang ada momen mendengar kata “maaf” dari tim, kecuali kalau saya sudah benar-benar marah.

Setelah semua yang dilewati, ditinggalkan dan sendirian itu nggak semenakutkan dulu. Justru sekarang, berjalan dengan kaki sendiri terasa lebih wajar.

Pernah terpikir, kalau di suatu momen apakah mereka mau coba reach duluan atau sekadar minta maaf secara tulus? Seperti Jihan atau Wulan, misalnya. Selama ini aku yang disalahkan, padahal aku yang tiap malam begadang menyelesaikan tugas yang nggak kelar-kelar karena deadline dan tanggung jawab membangun bisnis.

Tapi ya, pada akhirnya tetap saya yang reach dan yang minta maaf. Kadang jadi pemimpin itu sepi. Kita sibuk menghargai orang lain, tapi nggak ada yang benar-benar mengapresiasi kita. Karena ya, kita dianggap "sudah seharusnya" begitu.

Kalau ngomongin sakit hati, saya sejujurnya juga sakit. Perjuangan ini sering terasa sendiri. Job desk yang saya bagi sebenarnya sudah dipikirkan baik-baik, menyesuaikan kemampuan masing-masing. Tapi tetap aja, beberapa dari mereka memilih mundur saat tantangan mulai terasa berat.

Baca juga: Leadership Skill yang Harus Dimiliki Pemimpin, Apa Saja? Berdasarkan Pengalaman Nyata!

Padahal, kunci tim yang bertahan itu cuma dua: saling percaya dan respek. Leader juga butuh dihargai, bukan cuma disalahkan.

Yang paling bikin saya muak adalah saat mereka bilang, “Grup ini cuma satu arah.” Lah, gimana mau dua arah kalau tiap kali aku lempar diskusi atau ide, nggak ada yang respons?

Kalau mau grup itu hidup, ya ego diturunkan dulu. Turunkan ego untuk minta maaf, untuk saling respek, dan menjaga komunikasi tetap jalan. Sayangnya, nggak semua orang yang saya rekrut bisa seperti itu. Atau mungkin aku yang dianggap egois? Entahlah. Kadang kita lupa, orang yang kelihatan kuat, juga sedang menanggung beban berat.

Mungkin, kecuali untuk Rahmat, karena dia sudah mampu menjadi seseorang yang sabar. Mungkin dia telah melewati satu fase yang membuat seluruh pandangan dan hatinya berubah menjadi lebih lembut.

Kalau kamu kecewa, percayalah, saya lebih kecewa. Saat saya delegasikan tugas baru, bukannya riset atau cari cara, malah langsung bilang, “Aku nggak bisa,” atau “Aku nggak punya pengalaman.”

Lah, siapa juga yang punya pengalaman waktu mulai startup dari nol? Namanya dari nol, ya pasti berat. Pasti banyak pengorbanan. Bahkan harus rela jalan dulu tanpa bayaran, kadang sampai nombok.

Soal dana? Saya bukan tipe orang yang akan menggunakan uang orang lain sehingga saat itu saya bagikan sisa di rekening yang benar-benar uang Vitoma untuk masing-masing anggota. Yang tersisa, kita pakai buat kembangkan produk yang masih ada.

kisah di balik angphot

Insyaallah gambar ini nanti akan diganti bersama ketika ANGPHOT benar-benar terbang.

Yang paling penting dari semua ini: carilah tim yang percaya sama visi dan pemimpinnya. Yang bisa saling dukung dan tumbuh bareng. Karena itu terima kasih untuk Ariq dan Rio. Terima kasih sudah tetap bertahan sampai hari ini.

Di antara banyak orang yang sudah pernah kulalui dalam hidup, jadilah manusia yang punya hati luas, nggak gampang dendam, dan mau saling percaya. Dari sekian langkah usaha kita, semoga Tuhan izinkan kita bersama benar-benar bersinar, semoga Tuhan membalas tiap rasa sabar kita dengan hadiah yang sungguh luar biasa, semoga juga atas tiap-tiap pandangan manusia yang meragukan kita, Tuhan izinkan untuk kita benar-benar terbang dan mendunia.

Saya juga sadar, sebagian dari mereka masih mahasiswa, belum pernah kerja dalam tekanan atau di perusahaan besar. Jadi, mungkin ini juga bukan sepenuhnya salah mereka. Mungkin kata-kataku kadang tajam. Tapi itu karena aku ingin mereka bisa berkembang, bukan karena benci.

Sayangnya, hasil kerja mereka sering sekali mundur atau bahkan tidak konsisten, atau bahkan molor dari ekspektasiku. Padahal aku nggak minta sempurna. Cuma ingin usaha yang sepadan.

Inilah dilemanya, menjadi leader itu memang serba salah. Apalagi jika anggota tim bukan berasal dari yang benar-benar kompeten atau memiliki jam terbang yang cukup untuk menyelami dunia yang penuh lika-liku.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  1. Untuk menyisipkan sebuah kode gunakan <i rel="pre">code_here</i>
  2. Untuk menyisipkan sebuah quote gunakan <b rel="quote">your_qoute</b>
  3. Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image">url_image_here</i>