Antara Restu, Mimpi, dan Kesendirian: Perjalanan Anak 24 Tahun
"Izinkan aku bersandar di bahumu yang hangat untuk sejenak. Kumohon jadilah tempat berlindung bagi jiwaku yang lelah."
Kalimat itu terlintas di kepalaku, saat harus menerima kenyataan berpisah dengan Ariq, anggota terakhir timku di ANGPHOT. Kini aku harus berjalan sendirian: meeting dengan BRIN, mencari mitra B2B, membuat konten, hingga menyusun strategi untuk startup-ku sendiri.
Sebenarnya, aku terbiasa melakukan semuanya sendirian sejak lama. Namun, kali ini berbeda, rasanya lebih sepi, lebih berat.
Antara Dukungan dan Kekhawatiran Orang Tua
Di tengah perjalanan yang sepi ini, justru orang tuaku lebih banyak menunjukkan kekhawatiran daripada dukungan. Bagiku, restu mereka begitu penting. Tapi setiap kali aku bicara soal resign untuk fokus ke startup, raut khawatir selalu muncul, terutama dari ibuku.
Dari sudut pandang psikologi keluarga, ini hal yang wajar. Orang tua terbentuk oleh pengalaman hidup mereka—bagi mereka, bekerja sebagai karyawan berarti aman, stabil, dan terukur. Sementara jalan yang kupilih penuh risiko. Kekhawatiran itu sebenarnya bentuk cinta, meski dalam diriku sering terasa seperti beban.
Ada istilah “parental overprotection”, ketika orang tua sulit memberi kepercayaan penuh karena rasa takut kehilangan. Sayangnya, ketika rasa khawatir itu berlebihan, anak justru merasa tidak didukung dan tidak dipercaya. Padahal, menurut penelitian, dukungan emosional orang tua berperan besar dalam meningkatkan kepercayaan diri dan resiliensi anak muda di masa peralihan karier.
Studi oleh Gushue & Whitson (2006) misalnya, menemukan bahwa dukungan orang tua berkorelasi positif dengan career decision-making self-efficacy. Artinya, restu dan keyakinan orang tua dapat menjadi energi tambahan yang membuat anak lebih yakin menapaki jalan yang penuh tantangan.
Tubuh yang Mulai Memberi Sinyal
Aku sadar, tubuhku mulai memberi tanda kelelahan. Harus mengurus pekerjaan sebagai karyawan, mengembangkan startup, dan memenuhi ekspektasi keluarga sekaligus.
Dalam psikologi, kondisi ini dikenal dengan role conflict, yakni ketika seseorang memegang banyak peran sekaligus yang saling bertabrakan. Dampaknya bisa menimbulkan stres kronis, kelelahan fisik, bahkan rasa putus asa.
Maka, sebenarnya wajar jika aku merasa sangat lelah. Manusia punya batas. Justru mengenali batas itu adalah tanda kedewasaan, bukan kelemahan.
Tentang Pernikahan dan Jalan Hidup
Di usiaku yang baru 24 tahun, pertanyaan “Kapan nikah?” sering jadi beban tersendiri. Padahal, menikah bagiku bukan sekadar formalitas. Aku tidak ingin mengulang hidup yang penuh keterpaksaan, seperti yang kurasakan pada ibuku.
Psikologi perkembangan menyebut fase usia 20-an sebagai emerging adulthood, yakni masa ketika seseorang mencari identitas, arah hidup, dan makna. Tekanan untuk segera menikah atau bekerja “mapan” sering berbenturan dengan kebutuhan alami anak muda untuk bereksplorasi.
Aku ingin punya waktu menemukan jalan hidupku sendiri, bukan sekadar memenuhi ekspektasi sosial.
Tentang Agama dan Keyakinan
Ada hal lain yang juga berat: perbedaan pandangan soal agama dalam keluargaku. Aku masih belajar, masih mencari, tapi kadang merasa tertekan karena perbedaan tafsir yang dianggap final oleh sebagian orang tua.
Dalam psikologi agama, hal ini disebut faith development, yakni iman seseorang memang melalui tahapan. Ada fase di mana kita menerima begitu saja ajaran orang tua, lalu fase mempertanyakan, hingga akhirnya menemukan keyakinan yang lebih matang dan personal. Aku sedang berada di fase itu, dan itu bukan tanda kurang iman, melainkan bagian dari perjalanan spiritual.
Menurut teori perkembangan iman James Fowler, iman seseorang melalui tahapan. Ada fase menerima apa adanya ajaran orang tua, lalu fase mempertanyakan, hingga akhirnya menemukan keyakinan yang lebih matang dan personal. Aku sedang berada di fase itu, bukan berarti kurang iman, melainkan bagian dari perjalanan spiritual.
Harapan untuk Masa Depan
Semua ini mengajarkanku satu hal: ketika nanti aku jadi orang tua, aku ingin belajar memberi kepercayaan penuh kepada anak-anakku. Memberi rasa aman, menjadi tempat pulang, bukan sekadar pengatur hidup.
Karena aku percaya, dukungan itu bukan berarti menghilangkan kekhawatiran, tapi memilih untuk percaya di tengah rasa takut.
Aku mungkin masih berjuang sendirian. Aku mungkin sering merasa sepi. Tapi aku ingin melangkah dengan keyakinan, bahwa Allah yang akan menilai, bukan manusia.
Apakah kamu ingin curhat online gratis via WhatsApp? Yuk, sampaikan cerita yang tidak bisa lagi kamu pendam! Kami menyediakan ruang #curhatonlinegratis untuk setiap masalah yang kamu alami. Yuk, kunjungi ruang curhat online.
Cerita yang kamu alami dapat di-publish di situs kami sehingga dapat menghubungkan setiap orang dengan masalah serupa. Namun, kamu juga dapat memilih supaya cerita tersebut tetap sebagai privasi dengan sebuah persetujuan.