Dampak Pola Asuh Keras terhadap Regulasi Emosi Anak
Ada kalanya aku memandangi adikku, Revan, dan hatiku langsung terasa sesak. Anak kecil itu, dengan tubuh kecilnya, sering menunjukkan emosi besar yang seolah tidak bisa ia kendalikan. Ia mudah tantrum, gampang marah, sulit bersosialisasi, bahkan untuk tertawa lepas pun rasanya seperti sebuah kemewahan yang langka.
Dan setiap aku melihatnya seperti itu, ada suara kecil dalam hati yang berbisik, "Jangan tumbuh sepertiku, ya."
Aku tahu, anak-anak itu bukan sekadar 'nakal' atau 'susah diatur'. Mereka adalah cerminan dari lingkungan terdekatnya, dan lingkungan terdekat itu ya kita: orang tua, kakak, keluarga.
Revan tumbuh dalam rumah yang kadang penuh dengan nada tinggi, kemarahan, dan minim kehangatan emosional. Sesuatu yang mungkin terlihat “sepele” buat orang dewasa, seperti tidak bisa menyalakan keran air sendiri, bisa membuatnya kena marah. Padahal, bukan salahnya juga. Ia cuma butuh bantuan. Tapi yang datang bukan tangan yang menuntun, melainkan suara tinggi yang menghakimi.
Dan dari situlah luka kecil mulai tertanam.
Anak yang Marah, Belum Tentu 'Bandel'
Kita kadang lupa: anak kecil belum bisa mengolah emosi seperti orang dewasa. Saat mereka marah, menangis, atau berteriak, sebenarnya itu bentuk permintaan tolong. Mereka belum bisa bilang, “Aku lelah,” “Aku bingung,” atau “Aku merasa tidak dicintai.” Jadi yang keluar adalah tangisan atau teriakan.
Dan jika respons kita sebagai orang dewasa adalah marah balik, atau mendiamkan, atau malah mempermalukan, mereka belajar dua hal yang menyakitkan:
- Emosi itu salah.
- Aku salah karena merasa seperti ini.
Dari sini, seorang anak bisa tumbuh jadi pribadi yang:
- mudah meledak,
- mudah merasa tidak cukup,
- kesulitan membangun koneksi dengan orang lain,
- atau justru tumbuh jadi anak yang terlalu ‘baik’, memendam semua demi tidak dimarahi.
Luka Masa Kecil Tak Hilang Sendiri
Apa yang Revan alami hari ini, bisa jadi membentuk caranya berpikir, merasa, dan bertindak saat ia dewasa nanti. Anak-anak seperti ini berisiko besar tumbuh jadi orang dewasa yang:
- susah percaya diri,
- punya kecemasan sosial,
- atau kesulitan mengekspresikan cinta dan kasih sayang.
Dan yang menyakitkan adalah… aku tahu ini karena aku sudah duluan menjalaninya.
Makanya, ketika aku lihat Revan seperti itu, aku ingin sekali memeluknya erat dan bilang: "Kamu tidak salah. Kamu tidak sendirian. Kamu layak dicintai meski kamu kesal, menangis, atau bahkan marah."
Karena pintar saja memang tidak cukup untuk hidup di dunia ini. Dunia ini butuh keberanian untuk merasa. Butuh kekuatan untuk mencintai diri sendiri. Dan itu semua dimulai dari rumah, dari bagaimana anak-anak diperlakukan.
Dari Anak yang Dimarahi, Tumbuhlah Anak yang Bingung
Ada istilah dalam psikologi anak: emotional invalidation. Artinya, perasaan si anak dianggap tidak penting, dibungkam, atau malah dimarahi.
Anak yang sedang takut, tapi dimarahi karena takut.
Anak yang sedang sedih, tapi dipaksa cepat-cepat senyum.
Anak yang kesal, tapi disuruh diam karena dianggap tidak sopan.
Ketika itu terjadi terus-menerus, anak belajar bahwa:
- “Perasaanku itu mengganggu orang lain.”
- “Lebih baik diam, atau pura-pura bahagia.”
- “Kalau aku jujur tentang perasaanku, aku akan dihukum.”
Dan lama-lama, mereka tidak tahu bagaimana caranya merasa dengan aman. Mereka tumbuh bingung tentang dirinya sendiri: mana yang asli, mana yang cuma topeng supaya diterima?
Luka yang Diwariskan Tanpa Kata
Yang sering kita lupakan adalah orang tua tidak perlu jadi kejam untuk menyakiti anaknya. Cukup jadi orang tua yang tidak hadir secara emosional, seperti terlalu sering marah, terlalu sering membandingkan, terlalu jarang memeluk, maka luka itu tetap terbentuk, meski tidak selalu kelihatan.
Dan luka emosional ini bisa turun-temurun.
Seorang ibu yang dulu sering dimarahi ibunya, bisa tanpa sadar mengulang pola yang sama ke anaknya.
Seorang ayah yang dulu dipaksa "jangan cengeng", bisa bilang hal yang sama ke anak laki-lakinya tanpa pernah bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?”
Itulah yang disebut intergenerational trauma, atau luka yang diwariskan, bukan lewat darah, tapi lewat pola.
Kita Tidak Lahir Rusak, tapi Kita Belajar Bertahan
Revan bukan “anak nakal”. Ia hanya sedang belajar bertahan. Emosinya besar karena tak ada tempat aman untuk meletakkannya.
Dan aku tahu, kalau itu tidak berubah, Revan bisa tumbuh jadi seseorang seperti aku:
- Pintar, mungkin. Tapi kosong.
- Berprestasi, tapi kesepian.
- Tampak baik-baik saja, tapi merasa salah terus-menerus.
- Pandai menyenangkan orang lain, tapi tidak pernah tahu apa yang benar-benar diinginkan oleh diri sendiri
Dan itulah kenapa aku begitu kasihan. Kasihan dan khawatir Revan tumbuh jadi cerminan masa kecil yang tak pernah ia pilih.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai kakak, mungkin aku tidak bisa mengubah semuanya. Aku tidak bisa mengganti cara orang tuaku mendidik. Tapi aku belajar satu hal:
Anak hanya butuh satu orang dewasa yang hadir sepenuh hati untuk merasa aman.
Hanya satu.
Bisa jadi guru, nenek, tetangga, atau… kakaknya.
Jadi, setiap kali aku bisa, aku akan menjadi tempat pulang buat Revan. Aku akan bilang, “Kamu boleh menangis.” “Kamu tidak salah.” “Aku bantu, ya.”
Aku akan peluk dia setiap dia marah, bukan karena aku punya jawaban, tapi karena aku tahu pelukan bisa jadi jembatan sebelum kata-kata bisa keluar.
Jangan Tumbuh Sepertiku
“Jangan tumbuh sepertiku, ya.”
Bukan karena aku benci siapa diriku sekarang. Tapi karena aku tahu beratnya hidup yang dijalani tanpa rasa aman, tanpa ruang untuk menangis, tanpa izin untuk merasa.
Kalau kamu yang membaca ini juga pernah merasa seperti Revan, atau sepertiku, mungkin kamu juga tahu rasanya:
Menjadi anak yang tak pernah diajarkan cara mencintai diri sendiri.
Tapi kita bisa berhenti di sini. Kita bisa pelan-pelan mengubah arah. Kita bisa jadi orang dewasa yang dulu kita butuhkan.
Dan untuk Revan, semoga suatu hari nanti, kamu bisa tumbuh jadi seseorang yang tidak harus menyembunyikan hatinya, karena kamu pernah diajarkan bahwa hatimu pun layak didengarkan.